Sudah lebih dari dua belas tahun, pembaca Kompas akrab dengan desain dan wajah Kompas yang klasik dan elegan. Desain wajah Kompas itu dirancang desainer surat kabar internasional, Mario F Garcia, pendiri Garcia Media. Desain itu diluncurkan 28 Juni 2005 bertepatan dengan ulang tahun ke-40 Kompas.

Hari ini, Rabu 3 Januari 2018, bertepatan dengan penerbitan edisi ke-17.731, Kompas kembali meredesain wajahnya. Perubahan wajah Kompas yang mengandalkan center of visual impact dengan desain yang “clean andstrong” adalah respons Kompas dan versi digitalnya, Kompas.ID, atas perubahan perilaku membaca akibat revolusi digital.

Dalam perjalanannya selama 52 tahun, perubahan desain wajah adalah hal biasa. Desain baru yang dirancang sepenuhnya oleh desainer intern, melibatkan sejumlah editor lintas generasi di Kompas, peneliti Litbang Kompas, diskusi terpusat dengan kelompok pembaca, serta bagian bisnis, tetaplah mengacu pada karakter Kompas sebagai surat kabar berkualitas dengan ciri khas utamanya yang dipertahankan, klasik dan elegan. Prinsip dasar itu dikombinasikan dengan tren kekinian yang menghendaki desain yang lebih clean dan strong.

Revolusi digital telah mengubah perilaku dan kultur masyarakat dalam berkomunikasi atau mengonsumsi berita. Kehadiran media sosial mengubah informasi menjadi lebih personal. Media sosial adalah bentuk nyata demokratisasi media dalam arti sebenarnya. Dalam “Buku Putih Kompas 2017-Panduan di Era Digital”, yang menjadi pertanggungjawaban tim internal meredesain Kompas, dikutip pendapat Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Navara, Spanyol, Jose Luis Orihuela (2003).

Orihuela menyebut beberapa prinsip paradigma baru media pada era digital. Paradigma itu adalah dari audiens menjadi pengguna, dari media menjadi isi, dari monomedia menjadi multimedia, dari periodikal menjadi real time, dari kelangkaan informasi menjadi keberlimpahan, dari mediasi editor menjadi tidak termediasi, dari distribusi menjadi akses, dari satu arah menjadi interaktif, dari linear menjadi hypertext, dari data menjadi pengetahuan.

Harian Kompas dan Kompas.ID mencoba menanggapi perubahan itu. Baik versi koran maupun versi digital di Kompas.ID berada dalam satu kebijakan editorial dan kebijakan bisnis, mencoba menjawab kebutuhan multimedia, interaktivitas, real time yang menjadi ciri dari media digital. Kompas dan Kompas.ID adalah satu kesatuan untuk menjawab tantangan.

Dengan keterbatasan ruangan koran, harian Kompas memang tak mungkin jorjoran memberikan informasi kepada pembaca. Ketika media digital unggul dalam kecepatan, koran ditantang meningkatkan kualitas berita, memberikan kedalaman, menawarkan perspektif, mengedepankan akurasi (jurnalisme presisi), dan memberi makna atas berita (jurnalisme makna). Redaksi Kompas dan Kompas.ID berkomitmen penuh untuk menjadi rumah penjernih informasi (clearing house of information) dan rumah pengetahuan di tengah informasi yang berserak.

Hal baru yang ditawarkan dalam redesain Kompas adalah ringkasan dalam sejumlah berita guna memberikan ruang kepada pembaca yang singkat waktu bacanya. Ada juga navigasi di balkon guna memberi petunjuk kepada pembaca tentang berita di halaman lain yang dipandang menarik dan penting. Redesain Kompas dimaksud agar Kompas lebih enak dibaca, segar dilihat, tetapi tetap kredibel dan bisa dipercaya. Ada pula rubrik Arsip yang dipindahkan ke halaman 15. Rubrik Arsip yang diambil dari arsip pemberitaan Kompas ditafsir ulang dan diberikan konteks kekinian.

Meskipun karakter desain dan font huruf untuk judul harian Kompas didesain lebih strong dan modern, harian Kompas tetap akan menjadi “anjing penjaga yang santun” (polite watchdog). Mengambil istilah yang sering digunakan Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama, gaya bermedia harian Kompas mengadopsi prinsip klasik, teguh, dan keras dalam prinsip, tetapi lentur dan lembut dalam cara (Fortiter in re, suaviter in modo).

Di tengah revolusi digital dan demokratisasi media yang mewujud dengan kehadiran media sosial, wajar jika tantangan terberat koran adalah mempertanyakan raison d’etre sebuah koran di tengah masyarakat. Jakob sendiri dalam buku Kompas Way-Jakob’s Legacy memberi jawaban dengan mengutip Hal Jurgenmeyer (1931-1995). Bagi Jurgenmeyer, pemimpin media massa di bawah kelompok bisnis Knight Ridder, Amerika Serikat, surat kabar bukanlah lembaga yang bergerak semata-mata di bisnis berita atau bisnis informasi. Koran adalah lembaga yang bergerak dalam bisnis pengaruh! Pengaruh di masyarakat dan pengaruh di ranah komersial.

Jakob berulang kali mengungkapkan perlunya mengantisipasi perkembangan digital. Kompas mengikuti dengan saksama perkembangan digital dan bahkan mengikuti perkembangan digital dengan melahirkan portal Kompas.com pada 14 September 1994 dan Kompas.ID pada 2017, yang merupakan ekstensa dari harian Kompas. Jurnalisme Kompas tidak akan memproduksi sensasi, tetapi pada substansi. Jurnalisme Kompas didedikasikan untuk tetap memberikan manfaat kepada masyarakat, menjadi teman dari perubahan dan memberi kontribusi pada peradaban.

Memasuki fase 50 tahun kedua, Kompas telah menjadi teman perjalanan bangsa. Hadir pada masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno pada 28 Juni 1965, Kompas berkarya pada masa Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden KH Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Presiden Joko Widodo.

Gaya jurnalisme Kompas tak bisa dilepaskan dari cara pandang pendirinya, Jakob Oetama, tentang manusia. Manusia selalu ada dua sisi, kebaikan dan kelemahan. Karena itu, kata Jakob, we are no angels. Pandangan itulah yang menjadikan kritik Kompas disampaikan dengan penuh pengertian, kritik with understanding.

Liputan mendalam yang hadir tiap awal pekan ataupun liputan komprehensif bercorak ekspedisi dan penjelajahan akan menjadi ciri utama harian ini. Liputan bercorak ekspedisi adalah tawaran Kompas untuk melihat Indonesia dengan cara berbeda. Indonesia tidak hanya dilihat dari otonomi daerah, tetapi bisa dilihat dalam cara lain, seperti melihat Indonesia dari sungai (Ekspedisi Bengawan Solo 2007, Ekspedisi Ciliwung 2009, Jelajah Musi 2010, Ekspedisi Citarum 2011), melihat Indonesia dari gunung (Ekspedisi Cincin Api, 2011-2012), melihat Indonesia dari makanan (ekspedisi kuliner 2012), melihat Indonesia dari bawah laut (Ekspedisi Terumbu Karang 2017), serta Jalur Rempah (2017).

Jurnalisme berkedalaman inilah yang akan terus diupayakan di tengah era yang berubah. Desain boleh saja berubah, tetapi visi dan komitmen kemanusiaan Kompas tetap bertahan. Dia diaktualisasikan dan dibuat lebih relevan dengan zaman serta kebutuhan pembacanya. Kebutuhan pembaca akan selalu menjadi pertimbangan. Prinsip perbaikan berkelanjutan, ketaatan pada kode etik, kesetiaan pada prinsip dan kaidah jurnalisme, menjaga independensi ruang redaksi akan tetap dipegang teguh.