“Kompas” Menang di Hong Kong
January 14, 2020Harian ”Kompas” Borong Penghargaan Bergengsi Nasional
February 11, 2020Oleh Ninuk Mardiana Pambudy
Bagi harian Kompas, tahun 2020 menjadi tonggak penting baru. Kompas akan berusia 55 tahun pada 28 Juni mendatang. Usia ini belum terlalu panjang apabila dibandingkan dengan media lain di dunia. Pada usia menuju 55 tahun, Kompas telah menemani pembaca setianya melalui berbagai peristiwa besar dan penting di Tanah Air dan dunia.
Saat terbit dengan nama Kompas, sesuai nama yang diberikan Presiden Soekarno, pendiri Kompas, Jakob Oetama dan almarhum PK Ojong, menetapkan bahwa ”surat kabar haruslah otonom, tidak didikte atau diatur orang lain, kecuali oleh pengasuhnya sendiri. Juga tidak oleh kelompok atau lembaga yang menerbitkannya”. Pernyataan itu disampaikan dalam Tajuk Rencana, 28 Juni 1975, memperingati sepuluh tahun harian Kompas.
Prinsip media harus otonom membuat Kompas dapat menjalani fungsinya dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, antara lain sejauh mungkin memberi tempat berdialog bagi pendapat dan perasaan berbagai kelompok dalam masyarakat. ”Dengan demikian terjalinlah proses demokratisasi, proses musyawarah, proses keterbukaan sikap, bukan ketertutupan”.
Sebagai media yang bekerja secara terbuka, karena bertujuan menjangkau sebanyak mungkin pembaca, Kompas menjalankan fungsi kontrol dan kritik terhadap pemerintah, dunia usaha, dan kelompok di masyarakat. Fungsi tersebut dijalankan dengan rendah hati, bertujuan ”memberi ruang proses akomodasi dan identifikasi, mencegah mengendapnya rasa frustrasi, dan meluaskan rasa diikutsertakan” masyarakat dalam pembangunan.
Surat kabar haruslah otonom, tidak didikte atau diatur orang lain, kecuali oleh pengasuhnya sendiri.
Dalam perkembangan selama 20 tahun terakhir, peran sebagai penjaga pintu sosial, yaitu memverifikasi suatu peristiwa, menjadi tantangan bagi media arus utama. Pada era baru informasi akibat lompatan teknologi digital, realitas berubah jadi masalah keyakinan, bukan tentang sesuatu yang obyektif atau terverifikasi. Dalam istilah Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (Blur, Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi, 2012), bisa dikatakan masyarakat beralih dari era informasi ke era afirmasi.
Perkembangan itu membuat kata post-truth menurut Oxford Dictionary paling populer tahun 2016. Kamus daring Oxford mendefinisikan post-truth sebagai situasi di mana orang lebih menanggapi informasi atau kejadian berdasarkan perasaan dan keyakinan daripada fakta. Banyak ahli mengatakan post-truth bukan hal baru. Sejarawan Yuval Noah Harari (21 Lessons for the 21th Century, 2019) menyebut post-truth telah melekat pada Homo sapiens sejak awal keberadaannya. Post-truth kian mencemaskan banyak orang seiring berkembangnya teknologi internet.
Kawan dalam perubahan
Dunia memasuki revolusi industri keempat yang mengubah secara mendasar cara hidup, bekerja, dan berhubungan satu sama lain. Pendiri dan Executive Chairman World Economic Forum Klaus Schwab pada 2016 menyebut, dunia berada di tepian menuju revolusi industri keempat, berbeda dari revolusi industri ketiga yang berbasis elektronik dan teknologi informasi untuk otomasi produksi manufaktur. Yang berbeda dari revolusi industri ketiga adalah kecepatan, jangkauan, dan dampaknya pada sistem.
Hanya dalam waktu tiga tahun disrupsi akibat teknologi digital yang mendasari revolusi industri keempat sudah dirasakan hampir di setiap bagian kehidupan; pemerintahan, industri, dunia usaha dan bisnis, perdagangan, hingga kehidupan pribadi. Data pribadi yang tanpa sadar diberikan pemiliknya ketika bertransaksi secara digital bisa dimanfaatkan pihak kedua dan ketiga tanpa izin.
Salah satu dampak yang menimbulkan kekhawatiran adalah meluasnya berita bohong dan post-truth. Contoh paling terkenal adalah yang dilakukan perusahaan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analityca. Perusahaan ini menambang data pengguna Facebook tanpa izin pemilik data untuk digunakan memenangkan Donald Trump dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016 dan memenangkan suara rakyat Inggris keluar dari Uni Eropa.
Film dokumenter di layanan daring, Netflix, The Great Hack, menjelaskan bagaimana Cambridge Analityca menarget calon pemilih dan mengirimkan informasi yang dipelintir untuk membangkitkan emosi dan memancing keyakinan negatif pemilih terhadap lawan politik.
Indonesia termasuk satu dari 70 negara yang menggunakan yang ”ditukangi” secara komputasi digital untuk memanipulasi informasi dalam kampanye.
Penggunaan media sosial untuk menyebarkan kampanye politik yang memanipulasi calon pemilih bukan hal baru. Yang mengkhawatirkan, adanya pengguna yang menyebarkan informasi palsu secara masif melalui media sosial (medsos) yang berbasis teknologi digital.
Laporan Oxford Internet Institute, University of Oxford, The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation memaparkan, Indonesia termasuk satu dari 70 negara yang menggunakan yang ”ditukangi” secara komputasi digital untuk memanipulasi informasi dalam kampanye.
Platform medsos yang digunakan: Twitter, Facebook, Instagram, dan Whatsapp. Partai dan politisi menggunakan jasa kontraktor swasta untuk mendukungnya, menyerang lawan politik, dan memecah lawan. Umumnya yang dilakukan adalah manipulasi media dan disinformasi serta menguatkan pesan dengan membanjiri medsos guna memengaruhi pengguna.
Kabar baiknya, pasukan siber itu berkapasitas rendah, bekerja hanya saat kampanye, dengan bayaran Rp 1 juta-Rp 5 juta per kontrak. Ke depan, pemerintah dan media arus utama bersama-sama memastikan manipulasi informasi tak terjadi lagi dalam kampanye politik, seperti saat pilkada serentak di 270 provinsi, kabupaten, dan kota pada 23 September 2020.
Tatanan dunia juga berubah. Kekerasan terus terjadi di Timur Tengah dan Afrika, Asia Timur di bawah ancaman nuklir Korea Utara dan China yang asertif. Gelombang ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah terjadi di sejumlah negara kawasan Amerika Latin, Uni Eropa, India, dan Hong Kong. Dunia juga menghadapi kenaikan suhu bumi yang memengaruhi perubahan pola iklim dan cuaca. Dari sisi ekonomi, tahun ini diperkirakan bukan tahun yang mudah secara global dan bagi Indonesia.
Setelah Pemilu 2019 yang kampanyenya seperti membelah masyarakat, akhirnya dua kandidat presiden yang bersaing ketat bersatu dalam pemerintahan. Menuju 75 tahun Indonesia dan satu abad Indonesia merdeka diperlukan kepemimpinan yang kuat di semua lini yang dapat menyatukan keberagaman Indonesia.
Perubahan cepat yang terjadi, seperti disebut Harari, membuat banyak orang merasa tidak relevan dengan situasi baru. Masyarakat membutuhkan bukan sekadar informasi, tetapi kemampuan memahami informasi, membedakan antara yang penting dan tak penting, menghubungkan tiap informasi menjadi satu gambar besar tentang situasi yang terjadi. Untuk menemukan solusi serta membangun partisipasi, media arus utama yang terbuka dapat menjadi sarana bertemunya pendapat dan perasaan berbagai kelompok masyarakat.
Kompas terus berupaya tetap relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Pada era revolusi industri keempat dan perubahan cepat di dalam negeri dan dunia, Kompas tetap akan menjalankan fungsi itu, dengan sikap kehati-hatian, sejauh mungkin menyajikan informasi secara lengkap, menilai fakta, dan memberi makna atas peristiwa yang terjadi.
Menyambut tahun 2020 serta menuju 55 tahun harian Kompas dan hari ulang tahun ke-75 Indonesia, Kompas tetap ingin menjadi kawan dalam perubahan bagi pembaca, bersama-sama mencari arah dan menemukan solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara.
Layanan digital Kompas.id sebagai perpanjangan harian Kompas yang diadakan tahun 2017 terus ditingkatkan. Tidak hanya agar relevan dengan zaman dan perilaku generasi milenial dan sesudahnya, tetapi juga untuk memberi layanan lebih baik, menjangkau pembaca tanpa terbatas ruang dan waktu. Penuntun perubahan itu adalah Amanat Hati Nurani Rakyat yang mencita-citakan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat.