Harian Kompas x The Straits Times
November 18, 2019“Kompas” Menang di Hong Kong
January 14, 2020Oleh Sekar Gandhawangi/Sri Rejeki
JAKARTA, KOMPAS – Menyaksikan perhelatan Urban Sneakers Society (USS) 2019, bukan sekadar melihat tren gaya hidup yang sedang digandrungi. Lebih dari itu, lewat ajang yang digelar di District 8 SCBD, Jakarta ini, kita seakan diajak menyaksikan dunia yang sedang dan telah berubah. Ibaratnya, yang tidak siap beradaptasi, siap-siaplah tersingkir.
Minggu (10/11/2019) pukul 18.00, ratusan orang menunggu di panggung utama USS 2019. Mereka terlihat tegang sambil menggenggam kupon undian atau raffle hasil kerja sama USS dengan Harian Kompas.
Ketegangan itu beralasan karena pemenang akan mendapat Nike Air Jordan 1 “Fragment” yang diproduksi terbatas. Bila dijual kembali, harga sepatu konon bisa mencapai Rp 50 juta.
Napas para pengunjung seakan berhenti saat kupon diambil. Sesaat setelah nomor terpilih disebut, Henry Setiawan (39) langsung naik ke panggung tanpa basa-basi. “Rasanya seperti mimpi,” kata Henry, wiraswastawan asal Surabaya yang beruntung mendapat sepatu Nike Air Jordan 1 “Fragment” itu.
Sepatu tersebut hasil kolaborasi khusus dengan musisi sekaligus desainer Jepang, Hiroshi Fujiwara. Ia mendapat sepatu itu setelah menukar 50 eksemplar koran Kompas dengan 50 kupon undian atau raffle.
Henry merasa beruntung bisa mendapat sepatu yang diincar banyak orang ini. Pasalnya, ada orang-orang yang menukar ratusan hingga 1.000-an eksemplar koran demi Nike Air Jordan 1 “Fragment” ini.
“Kegilaan” lain yang terjadi di ajang ini adalah lakunya sepasang sneakers seharga Rp 130 juta. Sepatu berwarna dasar hitam mengilat, dengan hiasan rantai emas 24 karat, serta logo Nike bertatahkan swarovski ini, merebut hati Ibrahim Kamil (22), sang pemilik baru sepatu. Ia datang ke USS sambil menggeret koper off-white miliknya menuju booth Nevertoolavish, “kreator” sang sneakers.
Tidak sulit untuk melihat isi koper transparan itu berupa ribuan lembar uang Rp 50.000 yang digunakan untuk membayar tunai sepatu yang dinamakan Black Pearl. “Kebetulan kartu saya lagi terblokir,” kata pebisnis gim daring tersebut yang bela-belain datang pada hari pertama USS digelar, Jumat (8/11/2019).
Ibrahim rela merogoh koceknya dalam-dalam demi sepatu yang hanya ada satu di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. “Sepatu ini unik dan satu-satunya. Barang kustom seperti ini hanya satu orang yang pakai,” kata Ibrahim yang berencana membawa pengawal untuk menemaninya pulang membawa harta terbarunya itu.
Sekarang, yang dikejar dari sneakers bukan sekadar fungsinya saja, sebagai sepatu yang nyaman dikenakan atau sebagai fashion statement dan simbol status sosial. Sneakers sudah berubah menjadi barang investasi.
Chief Marketing Officer USS Jeffry Jouw mengungkapkan, sneakers sempat populer di Indonesia sekitar 2004-2009 lalu meredup. Popularitas sneakers terdongkrak lagi pada 2015/2016 hingga kini.
“Ini semua pengaruh media sosial. Jika dulu dunia sneakers sangat tersegmentasi, kini semua orang tahu sneakers. Bahkan, sneakers telah jadi gaya hidup. Orang pergi bekerja pun sekarang pakai sneakers,” kata Jeffry yang juga salah satu pendiri USS.
Menurutnya, banyak orang rela membeli sepatu dengan harga jutaan atas dasar harga diri dan kebanggaan. Bila dianalogikan, kedudukan sepatu lebih kurang sama dengan barang mewah lain, seperti jam tangan, mobil, hingga tas tangan.
Antusiasme publik bisa diukur salah satunya dari perkembangan acara USS 2019. Jumlah pengunjung terus naik selama empat tahun terakhir. Pada 2019, jumlah pengunjung mencapai lebih dari 50.000 orang. Sementara itu, nilai transaksinya melebihi Rp 20 miliar.
Konsumsi-identitas
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Derajad S Widhyharto berpendapat, fenomena sneakers hasil bercampurnya aspek konsumsi dengan identitas. Konsumsi kini tak lagi individual dan fungsional, tetapi bercampur dengan upaya menggaet identitas sosial.
“Ada pernyataan ‘saya belanja, maka saya ada’. Konteks konsumsi kini aktualisasi diri. Jadi, membeli barang, kini sama dengan membeli status sosial,” kata Derajad.
Sekarang, yang dikejar dari sneakers bukan sekadar fungsinya saja, sebagai sepatu yang nyaman dikenakan atau sebagai fashion statement dan simbol status sosial. Sneakers sudah berubah menjadi barang investasi.
Bukan rahasia lagi, harga sneakers bisa meningkat berkali-kali lipat dari harga aslinya. Semakin langka sneakers yang notabene semakin mahal harganya, semakin dicari. Produksi terbatas, seperti Adidas seri Yeezy Boost atau Nike Air Jordan 1 adalah beberapa yang menjadi incaran hypebeast enthusiast, istilah untuk mereka yang mengejar kekinian dalam berpakaian.
Namun, ternyata selalu ada orang yang mampu membeli, berapapun mahalnya sneakers. Sepatu-sepatu itu meskipun diproduksi terbatas, tetap saja bukan satu-satunya. Di sinilah, celah bagi industri kustomisasi berkembang. Barang yang langka, dibikin semakin langka dengan sentuhan kustomisasi. Salah satu yang beruntung adalah Nevertoolavish.
Industri kustomisasi sebenarnya telah tumbuh selama beberapa tahun terakhir di Tanah Air. Pamornya semakin melejit setelah Presiden Joko Widodo mengenakan jaket denim kustom buatan Nevertoolavish.
Pegiat kustomisasi Cyca Leonita yang juga ditemui di USS merasakan benar dampak “Jokowi effect” terhadap bisnisnya, melukis sarung ponsel, yang naik hingga 40 persen. “Selain unik, barang hasil kustomisasi itu seperti karya seni yang bisa dibawa ke mana pun,” katanya.
Di USS, kita bisa melihat beberapa produk yang memanfaatkan jasa Nevertoolavish dalam melukis atau mengkustomisasi sneakers, seperti Susu Ultra, Kentucky Fried Chicken, hingga Agung Sedayu Retail Indonesia.
Ini cara mereka untuk masuk ke dalam gelombang pembicaraan dan mencuri perhatian kalangan yang berniat dan berdaya beli kuat. Ini juga menjadi cara untuk menjembatani celah antara generasi senior dan anak muda.
“Generasi Z dan milenial lagi suka-sukanya dengan yang aneh. Mereka suka dengan konten yang berbeda dari yang seharusnya,” kata Manajer Umum Nevertoolavish Mohamad Azka.
Momentum ini semestinya menjadi pemacu keberanian merek-merek lokal untuk turut bersaing. Toh, meski merek-merek global, seperti Nike, Adidas, Vans, Puma, Fila, Keds, dan Converse masih mendominasi, merek-merek lokal mulai mendapat tempat.
Terbukti, antrean pembelian paling panjang selama USS 2019 terjadi di stan Compass, merek sepatu lokal asal Bandung. Selama tiga hari, sejak pintu USS dibuka, ratusan orang rela antre demi sepasang sepatu seharga Rp 378.000 dan Rp 418.000.
Salah satunya, Harry Agung yang sudah antre sejak jam 04.00 untuk bisa masuk USS. Saat berhasil masuk pukul 10.00, ia langsung antre dan baru berhasil mendekap kotak sneaker Compass impiannya menjelang pukul 16.00.
“Saya nunggu ini setahun enggak dapat-dapat. Kalau mau beli harga resale-nya mahal, Rp 800.000. Saya beli bukan untuk dijual lagi tapi untuk dipakai sendiri karena dapatnya susah,” ungkap Harry dengan wajah berkeringat.
Ia mengaku, sejak beberapa waktu belakangan sengaja lebih memilih produk lokal. Sampai ia rela menjual salah satu sepatu impornya untuk dibelikan sepatu bikinan lokal.
“Awalnya, dikenalin oleh teman. Ternyata enak fitting-nya. Modelnya juga keren. Sejak itu, saya berusaha selalu pakai produk lokal, dari baju sampai sepatu,” katanya.
Demikian pula dengan Kiki (41), pembeli dari Tangerang Selatan. Ia lebih memilih sneakers merek Pijak Bumi, produsen asal Bandung. Harga Rp 550.000 yang ia tebus, menurutnya tidak mahal karena sebanding dengan kualitas dan kemasan sepatu.
Compass berhasil menjual “barang lama” melalui pendekatan baru. Menurut Creative Director Sepatu Compass Aji Handoko Purbo, narasi dan keterikatan konsumen dengan produk adalah hal penting. Pengalaman konsumen harus diperhatikan karena dapat melanggengkan posisi produk di hati konsumen.
Di USS 2019, pengalaman itu dihadirkan melalui stan layaknya kios pangkas rambut zaman dulu. Calon pembeli duduk di kursi “potong rambut” selama menanti pesanan sepatunya dicarikan. Ia menghadap perlengkapan pangkas rambut lengkap, mulai dari sisir, jepit rambut, botol semprot, hingga bedak.
Menurut Aji, sepatu bukan sekadar alas kaki, namun juga media bercerita. Kisah itu ia injeksikan di sepatu Compass 98 Vintage yang membuat orang rela antre. Model sepatu ini mengadopsi tren sepatu global tahun 1940-an.
Sementara Pijak Bumi meraih hati konsumen karena narasi mereka tentang kepedulian pada lingkungan. Salah satu pendiri Pijak Bumi, Rowland Asfales mengungkapkan, pihaknya berkomitmen hanya menggunakan material lokal yang ramah lingkungan. Misalnya, katun organik, kulit kelapa, daur ulang ban bekas, dan kulit hewan yang diproses secara alami.
Pihaknya juga bekerja sama dengan ilustrator Kevin Lagona (Kevinswork) untuk desain yang mengangkat isu lingkungan. Dengan konsep ramah lingkungan, sepatu Pijak Bumi akan mulai diekspor ke Jepang Desember mendatang.
“Sebelum ini, secara eceran kami sudah mengirim ke 20 negara,” kata Rowland yang memasarkan lewat Instagram dan website.
Populernya sneakers diakui Rowland sangat menunjang bisnisnya yang baru berusia 3,5 tahun. Sejak 1,5 tahun terakhir, pihaknya mengalami peningkatan produksi, terutama untuk sneakers. Sekarang, 80 persen produksi Pijak Bumi berupa sneakers.
Kemunculan sneakers tidak lepas dari ditemukannya karet vulkanisir oleh Charles Goodyear pada 1839. Namun mulai dikomersialisasi sebagai alas sepatu pada akhir 1800-an.
Jika pada awalnya, sneakers lebih banyak digunakan untuk olahraga, kini sneakers pun dikenakan pada kesempatan formal. Sneakers dicari tidak hanya karena menjanjikan kenyamanan, tetapi juga dianggap dapat melambungkan status sosial, bahkan dapat memberikan cuan.