Harian ”Kompas” Borong Penghargaan Bergengsi Nasional
February 11, 2020Covid-19 dan Aksi Global bagi Penguatan Arsitektur Kesehatan Global
June 22, 2021Oleh STEFANUS ATO
Perjumpaan di ruang publik tak bisa dihindari di tengah keriuhan Ibu Kota. Setiap hari ada jutaan orang yang bergerak ke luar atau masuk ke Jakarta. Situasi ini membutuhkan kewaspadaan tinggi di tengah kecemasan publik terhadap virus corona (Covid-19).
Senin (9/3/2020), para komuter yang beristirahat sejenak sepanjang Minggu (8/3/2020) kembali bergerak melaksanakan rutinitasnya. Mereka memenuhi kereta rel listrik Jabodetabek, menyesaki bus-bus Transjakarta, tak kurang pula yang berimpitan macet di tol-tol dengan kendaraan pribadi mereka menuju tempat mata pencariannya. Di kantor atau lokasi bekerjanya, mereka akan berinteraksi dengan banyak orang dari belahan area lain di Jabodetabek.
Yang berbeda kini adalah di tengah rutinitas yang tetap berjalan itu. Ada kewaspadaan yang mengiringi setiap individu agar mereka tidak terserang penyakit, utamanya Covid-19.
Protokol khusus dilakukan di sebagian besar kantor dan fasilitas publik setidaknya sejak pekan lalu. Ada hand sanitizer di pintu masuk kantor atau pusat belanja. Ada juga petugas siap dengan thermal gun scanner memeriksa suhu tubuh setiap orang yang masuk. Yang bersuhu di atas 37 derajat celsius bisa diminta segera berobat dan istirahat di rumah.
Saat di jalan pun, di kendaraan pribadi ataupun di angkutan umum dan fasilitas publik, kewaspadaan pribadi meningkat. Meskipun demikian, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, umumnya masyarakat masih beraktivitas normal dan semua kegiatan tetap berjalan semestinya saat hari kerja ataupun saat libur akhir pekan.
Pada Jumat (6/3/2020), ribuan orang hilir mudik menunggu kereta, masuk dan keluar stasiun. Ada yang sekadar transit di stasiun besar tersebut untuk melanjutkan perjalanan. Ada pula yang ke luar untuk melanjutkan perjalanan ke stasiun lain.
Meski virus corona yang masuk ke Indonesia sejak diumumkan pemerintah pada 2 Maret 2020 mencemaskan publik, warga tetap bersikap biasa saat di stasiun ataupun ketika di dalam kereta. Misalnya Zaenal (57), warga asal Depok yang ditemui saat perjalanan menumpang KRL dari Stasiun Palmerah ke Stasiun Tanah Abang.
Lelaki separuh baya itu berupaya melawan kepanikan dengan selalu mengenakan masker. Masker yang ia kenakan itu merupakan satu-satunya pengetahuan yang ia pahami tentang cara mengantisipasi penyebaran virus corona.
”Khawatir karena kemarin kan kejadian pertama di Depok. Itu jarak lokasi pasien yang kena (SARS-Cov-2) tidak terlalu jauh dari rumah,” katanya.
Lelaki dua anak itu baru saja mengantarkan makanan kepada anaknya yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di kawasan Palmerah, Jakarta Pusat. Kebiasaan itu sudah ia lakukan selama dua bulan terakhir sejak anaknya diterima sebagai karyawan.
Di dalam KRL, tak sedikit penumpang yang melakukan cara serupa seperti Zaenal, yakni mengenakan masker. Kondisi kereta yang tak begitu padat juga memudahkan penumpang untuk mencari tempat duduk ideal tanpa berdesak-desakan.
Namun, upaya antisipasi di stasiun ataupun KRL masih tampak longgar. Di Stasiun Tanah Abang dan Stasiun Palmerah, masyarakat yang keluar masuk stasiun hilir mudik tanpa ada pemeriksaan. Sabun untuk mencuci tangan juga hanya terlihat ada di toilet stasiun.
Dari data yang dihimpun Kompas, pada 2018, jumlah warga yang menempuh perjalanan menggunakan KRL mencapai 336 juta orang. Di tahun itu, setiap hari ada 950.000-1 juta orang menggunakan angkutan tersebut.
Tingginya grafik pergerakan orang dengan KRL perjalanan di tengah merebaknya virus corona tentu membutuhkan kewaspadaan ekstra. Sebab, virus corona tidak menular melalui udara, tetapi melalui percikan cairan dari batuk, bersin, atau ludah saat penderita berbicara. Hingga saat ini, rute penularan masih terus diteliti karena tidak semua terinfeksi menularkan virus tersebut.
Interaksi antarwarga yang tak berjarak juga terlihat di beberapa blok Pasar Tanah Abang. Di jembatan skybridge Tanah Abang, pengunjung tampak padat. Ada yang sekadar melintas untuk ke stasiun. Ada pula yang asyik tawar-menawar dengan pedagang pakaian di tempat itu.
Kondisi di jembatan itu juga tak begitu bersih lantaran ada sejumlah kelompok masyarakat yang duduk di sejumlah sudut jembatan tersebut untuk merokok atau menyeruput kopi. Berbagai puntung rokok hingga sisa minuman yang ditinggal pemiliknya tumpah dan berserakan di beberapa sudut jembatan itu.
Rudy (40), salah satu pedagang di jembatan skybridge, mengaku sulit untuk menjaga jarak dengan pengunjung lantaran ia harus aktif menawarkan bahan belanjaannya. ”Namun, saya rutin cuci tangan,” katanya.
Dari pengamatan Kompas, di jembatan skybridge itu terdapat satu toilet. Namun, di dalam toilet itu tidak tersedia sabun untuk mencuci tangan. Kondisi serupa juga ditemukan di toilet lantai 1 Blok D, Pasar Tanah Abang.
Belum dimanfaatkan
Di Stasiun MRT, fasilitas pembersih, seperti hand sanitizer, banyak ditemukan di pintu-pintu masuk stasiun MRT. Sayangnya, cairan pembersih tangan itu tak selalu dimanfaatkan calon penumpang MRT.
Keadaan itu setidaknya terlihat di Stasiun MRT Setiabudi, Jumat pukul 15.00. Di tempat itu, meski ada petugas pengamanan, penggunaan hand sanitizertergantung kesadaran penumpang. Tak sedikit penumpang yang berlalu begitu saja setelah melewati pemeriksaan barang bawaan oleh petugas.
Abdul (25), salah satu penumpang MRT, mengaku masih membiasakan diri untuk selalu mencuci tangan setiap saat. Ia juga mengaku sering kerepotan untuk tak saling kontak fisik dengan teman-temannya saat berjumpa.
”Sangat khawatir, tetapi masih coba membiasakan diri. Bagusnya kalau banyak hand sanitizer karena langsung teringat untuk bersihkan tangan,” kata lelaki yang bermukim di Kramatjati, Jakarta Timur, itu.
Kebiasaan berbeda diceritakan Kamal (50), warga asal Ciledug, Tangerang, Banten. Lelaki itu mengaku lebih waspada sejak virus corona ramai diberitakan media.
”Saya juga selalu ikuti banyak anjuran pemerintah, dokter, yang sering bicara melalui televisi. Banyak juga informasi di internet,” katanya.