Kompas.id Raih Penghargaan Dewan Pers
December 10, 2021Peraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2021
February 10, 2022Revolusi teknologi membuat informasi melimpah ruah. Semua orang, bahkan robot-robot, dapat membuat, memublikasikan, serta membagikannya. Informasi benar atau bohong, berisi apresiasi atau propaganda, kritis atau sinis, menginspirasi atau memprovokasi, berbaur jadi satu di dunia maya.
Dengan kedigdayaannya, algoritma platform-platform raksasa pun terus agresif mengantarkan informasi-informasi itu dan merasuki pikiran dan jiwa warganet, seakan tanpa bisa dikendalikan lagi dampaknya. Kini, teknologi informasi bahkan sudah bergerak jauh lagi ke dunia realitas virtual rekaan, metaverse.
Kemajuan teknologi informasi akan berdampak positif bila pembuat konten dan warga berkolaborasi membangun informasi berkualitas. Sebaliknya, kemajuan ini akan menjadi bencana bila semua tak peduli dengan konten yang dibuatnya.
Tak ubahnya makanan, apa yang dibuat dan ditelan pasti berdampak pada orang yang mengonsumsinya. Ada makanan yang segera berdampak pada tubuh, tetapi lebih banyak yang tidak bisa segera terasakan. Bahkan, tidak sedikit yang mengecoh. Makanan superlezat terkadang tidak menyehatkan. Makanan bergizi, ah, malah kurang nikmat. Tak mudah memilih yang nikmat juga sehat.
Kepiawaian memilah dan memilih informasi pun menjadi superpenting di era ini. ”Di era banjir informasi, kejelasan menjadi kekuatan,” kata Yuval Noah Harari, sejarawan dunia.
Informasi yang melimpah tak serta-merta akan membawa berkah. Era informasi melimpah justru bisa menjadi musibah jika dipenuhi hal-hal yang membutakan, bukan yang mencerahkan.
Betapa pentingnya informasi semakin terang benderang pada masa pandemi Covid-19. Banyak bukti menunjukkan, misinformasi dan disinformasi telah menyeret banyak orang pada perilaku yang membahayakan diri bahkan orang lain, seperti meremehkan protokol kesehatan atau antivaksin. Korban berjatuhan bukan semata karena virus SARS-CoV-2, melainkan juga karena ”virus” disinfodemi.
Kini, informasi yang bertebaran pun semakin sederhana dan singkat, padahal persoalan yang terjadi semakin kompleks. Padahal, geopolitik dan geoekonomi terus bergerak. Dunia pun semakin terhubung, agenda internasional kait-mengait dengan bangsa-bangsa.
Ketika umat manusia berniat bersatu mengatasi pemanasan global dan berlomba mengeksplorasi ruang angkasa, informasi yang banyak tersebar justru menyegregasi kita ke dalam kelompok-kelompok dan menjadi bermusuhan.
Informasi yang dikonsumsi akan menentukan bagaimana kita dapat memahami atau merespons persoalan dengan tepat atau tidak. Informasi tepat mempercepat pencapaian. Informasi tak akurat membuat kita berputar-putar bak di labirin dan akhirnya tersesat.
Di era revolusi teknologi informasi, kita semua bisa melakukan kontrol, memilah, dan memilih informasi yang sedemikian melimpah sesuai kebutuhan masing-masing.
Namun, karena informasi sedemikian melimpah, tentu tidak mudah untuk melakukannya. Di era banjir informasi, kebenaran bahkan kerap tersembunyi oleh tumpukan informasi, bak jarum dalam tumpukan jerami.
Memberi Lebih
Jurnalisme dilahirkan untuk mencari kebenaran melalui disiplin profesional pengumpulan fakta dan verifikasi. Jurnalisme juga dilahirkan untuk loyal kepada warga dan atas independensinya memantau kekuasaan dengan obyektif.
Proses produksi di ruang redaksi yang taat metodologi serta taat etik akan menentukan kualitas informasi. Profesionalisme dan kode etik dapat menekan kemungkinan terjadinya bias kepentingan diri ataupun kelompok dalam pembuatan konten, sebaliknya mampu mengedepankan kepentingan publik. ”Journalism has always been a business of ethical people,” kata novelis Leslie H Whitten.
Saat ini, fungsi media arus utama melakukan diseminasi informasi boleh jadi tidak lagi hal utama karena semua orang dapat memublikasikan sendiri. Sebaliknya, fungsi verifikasi menjadi sangat diperlukan.
Ketika semua orang sudah bisa urun rembuk membahas persoalan, jurnalisme hadir untuk melihat persoalan secara komprehensif dan obyektif. Ketika semua orang bisa bersuara mempromosikan dirinya, peran jurnalisme adalah memperhatikan mereka yang tak bisa bersuara atau tak didengar.
Redaksi harian Kompas pun berkomitmen lebih mengoptimalkan kerja-kerja jurnalistik yang profesional dalam mengurasi informasi serta menyajikan informasi yang lebih mendalam, komprehensif, jelajah, investigatif, survei, ataupun jurnalisme data. Menangkap peristiwa dan persoalan secara lengkap mendekati kompleksitas peristiwa dan permasalahan menjadi kekuatan (Jakob Oetama: ”Dalam Kondisi Bagaimanakah Pers Kini Bekerja”).
Moto ”Amanat Hati Nurani Rakyat”, membela yang papa dan mengingatkan yang mapan, senantiasa menjadi semangat harian Kompas sejak didirikan PK Ojong dan Jakob Oetama, 28 Juni 1965. Oleh karena itu, kisah-kisah kemanusiaan dan kebudayaan yang inspiratif, isu soal demokrasi, kesetaraan perlakuan, penghargaan atas kebinekaan, serta keadilan dan pemerataan ekonomi selalu dan akan terus menjadi perhatian. Revolusi kembar, yaitu infoteknologi dan bioteknologi, ataupun dampak perubahan iklim yang terjadi sedemikian masif juga akan mendapat perhatian lebih.
Menjadi Lebih
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, harian Kompas juga terus bertransformasi menjadi lebih digital, seperti halnya kompas yang telah bertransformasi menjadi GPS (Global Positioning System) yang lebih presisi. Fakta-fakta jurnalistik pun kami sajikan ke dalam lebih banyak format, bukan hanya teks, foto, grafik statis, melainkan juga video, grafik interaktif, bahkan multimedia interaktif.
Harapannya, sahabat Kompas bisa menikmatinya sesuai kebutuhan, kapan saja, dan di mana saja. Pada pagi hari, sambil menyeruput teh atau kopi, Anda bisa menikmati versi ringkas padat terkurasi di harian Kompas. Di perjalanan, di kantor, atau di mana pun, Anda bisa menikmati versi detail dan lengkap di Kompas.id secara digital.
Redaksi pun mengajak Anda semua untuk bersama-sama membangun konten melalui surat pembaca di harian Kompas, atau kolom komentar yang bernas di Kompas.id, atau kiriman artikel opini yang mencerahkan di harian Kompas ataupun Kompas.id. Ruang-ruang dialog dengan pembaca pun akan lebih diintensifkan agar Kompas bisa menjalankan fungsinya lebih baik lagi sebagai kompas, yaitu membantu menunjukkan arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba, sebagaimana diharapkan Bung Karno, pendiri negeri ini.
Ke depan, kami juga akan lebih mengoptimalkan peran Ombudsman Kompas agar bisa menjadi jembatan antara redaksi dan pembaca, sekaligus menjaga kualitas jurnalisme. Kami tidak bisa berjalan sendiri dan sangat memerlukan dukungan sahabat pembaca Kompas, mitra bisnis Kompas untuk memperkuat ekosistem media arus utama dan berterima kasih atas dukungan selama ini. Kita perlu bersama-sama membangun ekosistem informasi demi kebaikan negeri. Konten menjadi raja hanya ketika Anda memberikan mahkotanya.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas (Kompas.id)
Artikel ini terbit di Harian Kompas dan Kompas.id edisi 2 Januari 2022
(https://www.kompas.id/baca/dikbud/2022/01/02/memberi-untuk-menjadi-lebih)